Pada dasarnya, dakwah kita adalah sama: mengajak manusia kepada
Allah, dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga mereka mengingkari
thagut dan beriman kepada Allah, agar keluar dari kegelapan jahilliyah
menuju cahaya islam. Insya Allah, dakwah yang kita usahakan adalah sama
dengan dakwah yang diemban para rasul-rasul Allah. Inilah pondasi kita,
dasar kita, yang tidak boleh lepas dari kita walau sebesar apapun
perubahan yang muncul di dalam lembaga dakwah kita.
Namun saat ini, mungkin seringkali kita mempertanyakan, mengapa
sangat sulit untuk mengajak teman-teman kita di kampus untuk mengikuti
acara-acara keislaman yang kita adakan (misal: ta’lim atau mentoring),
yang bertujuan untuk dakwah tadi? Apakah ada yang salah dengan dakwah
itu sendiri sehingga tidak cukup “menarik” bagi kawan-kawan kita?
Sebelumnya, saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman GAMAIS
ITB dalam hal rekrutmen kader. Pada tahun 2004 dan sebelumnya, kader
yang mendaftar GAMAIS tidaklah banyak. Setiap tahunnya sangat minim,
bahkan salah seorang kader GAMAIS angkatan 2004 pernah bercerita, di
pertemuan kader pertama angkatannya, yang hadir hanyalah 5 orang, yang
memang dapat dikatakan sudah menjadi aktivis dakwah sejak di sekolahnya
(ADS).
Kejadian ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Maka pertanyaannya adalah, mengapa sampai sebegitunya? Bukankah GAMAIS ITB merupakan unit keislaman yang “seharusya” memiliki nilai jual yang tinggi kepada mahasiswa muslim dengan nilai-nilai islam yang melekat padanya? Mungkin tidak harus sampai ratusan kader terekrut, tapi nominal 5, sangatlah memprihatinkan jika dibandigkan dengan ribuan mahasiswa muslim yang masuk ITB setiap tahunnya.
Tentu saja, kita yakin bukan label “Islam” pada “Keluarga Mahasiswa Islam” (GAMAIS) yang menyebabkan hal ini. Maka mari kita lihat apa kira-kira penyebabnya…
Kejadian ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Maka pertanyaannya adalah, mengapa sampai sebegitunya? Bukankah GAMAIS ITB merupakan unit keislaman yang “seharusya” memiliki nilai jual yang tinggi kepada mahasiswa muslim dengan nilai-nilai islam yang melekat padanya? Mungkin tidak harus sampai ratusan kader terekrut, tapi nominal 5, sangatlah memprihatinkan jika dibandigkan dengan ribuan mahasiswa muslim yang masuk ITB setiap tahunnya.
Tentu saja, kita yakin bukan label “Islam” pada “Keluarga Mahasiswa Islam” (GAMAIS) yang menyebabkan hal ini. Maka mari kita lihat apa kira-kira penyebabnya…
Mekanisme perekrutan yang diberlakukan pada saat itu adalah, GAMAIS
berusaha untuk mendata semua mahasiswa muslim yang masuk ITB; yang
biasanya dilakukan saat masa orientasi penerimaan mahasiswa baru oleh
KM-ITB (semacam BEM di perguruan tinggi lain). Pada sesi pengondisian
shalat dan makan, GAMAIS mengusahakan untuk mendata (melalui kuesioner)
mahasiswa muslim mulai dari nama, jurusan, dan -tidak lupa- nomor
telepon/ handphone. Untuk apa? Data ini kemudian akan menjadi “modal”
bagi langkah perekrutan selanjutnya.
Langkah tersebut adalah, mahasiswa yang terdata ini dihubungi melalui
handphone untuk mengikuti mentoring bersama kakak fulan di suatu
tempat. Ya, begitulah, dengan berharap mereka “mengenal” GAMAIS melalui
forum-forum saat orientasi, GAMAIS saat itu berasumsi objek kadernya
akan dengan mudah mendatangi ajakan sms tersebut. Namun pada
kenyataannya, tingkat efektivitas dari metoda ini sangat rendah.
Salah seorang kader saat itu, kak Rendy (TM’04), mencoba membaca
situasi ini. Menurutnya wajar jika objek yang bersangkutan tidak
tertarik untuk hadir. Terang saja, pertama, dia tidak tahu kenapa dia
bisa dihubungi. Kedua, dia tidak tahu siapa fulan itu, dan ketiga, dia
pun mungkin tidak tahu tempat yang bernama “kortim (koridor timur)
salman”, tempat yang biasa digunakan kader untuk mentoring dan syuro.
Maka pertanyaannya adalah, apakah dengan efektivitas yang rendah,
tradisi perekrutan seperti ini akan terus dilakukan untuk tahun-tahun
berikutnya? Tentu saja tidak. Kita harus melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik. Perubahan semacam ini yang biasa kita sebut dengan
INOVASI.
Satu hal yang perlu diingat pada contoh kasus di atas adalah, belum
tentu pola rekrutmen “langsung hubungi” itu adalah pola yang mutlak
buruk. Bisa jadi pola seperti itu memang cocok untuk masa pertama ia
dilakukan, karena mungkin GAMAIS saat itu belum memiliki image yang baik
atau resources yang cukup untuk open recruitment, sehingga pola
“menembak” seperti ini menjadi efektif. Namun yang perlu dievaluasi
adalah, apakah kondisi saat ini masih sama dan apakah pola seperti ini
masih relevan? Pada kasus ini mungkin jawabannya adalah “tidak”.
Lalu apa inovasi yang dilakukan? Saat itu, angkatan 2004, yang
dimotori oleh kak Rendy membuat suatu sistem rekrutmen yang baru dan
lebih ‘elegan’. GAMAIS melakukan open recruitment yang jelas dan tidak
ada kesan “memaksa”, dengan harapan, yang mendaftar GAMAIS memang adalah
kader-kader yang berminat kepada GAMAIS, tentu saja dengan risiko jika
tidak ada yang berminat, maka tidak akan ada yang berkunjung ke stand.
Pola seperti ini tentu saja dibuat bukan tanpa analisis dan
pencegahan risiko. Pertama, untuk membuat image GAMAIS cukup baik di
mahasiswa baru, pengemasan perekrutan pun dibuat lebih elegan dan lebih
baik. Saat ini, GAMAIS bahkan berani menetapkan biaya investasi/ biaya
komitmen sebesar Rp 50.000 untuk yang hendak menjadi kader GAMAIS,
dengan imbalan berupa kaos, kartu seluler perdana, map, notebook, dan
lain sebagainya. Dengan metoda seperti ini, ternyata perekrutan menjadi
efektif, bahkan dalam 2 tahun terakhir jumlah pendaftar tidak kurang
dari 700 orang per tahunnya (sekitar 1/3 dari total muslim setiap
angkatannya), dan tingkat reduksinya pun semakin berkurang.
Pada kasus di atas, kita dapat melihat bahwa inovasi memberikan
dampak yang positif terhadap tujuan kegiatan itu sendiri. Lalu
sebenarnya seberapa penting inovasi itu?
Rasulullah saw pernah berpesan kepada kita untuk ‘berbicara sesuai
dengan bahasa kaumnya’. Kita juga dipesankan untuk ‘memanggil nama
saudara kita dengan nama yang paling disukainya’. Kita juga diingatkan,
bahwa ‘setiap zaman memiliki permasalahannya sendiri dan memiliki
pahlawannya sendiri’. Lalu apa yang dapat kita ambil dari beberapa pesan
beliau tersebut?
Kita harus memahami, bahwa dakwah yang kita lakukan, baik secara
individu maupun secara lembaga haruslah dakwah yang berasal dari hati.
Karena hati hanya dapat disentuh oleh hati. Apa maksudnya? Kita harus
memahami objek dakwah kita dulu, untuk kemudian kita mengetahui
bagaimana pola terbaik untuk mendakwahi mereka. Maka jika zaman berubah,
jika objek dakwah pun berubah, apakah kita akan menggunakan pola yang
sama dengan tradisi dulu, yang mungkin sudah tidak relevan dengan
kondisi objek dakwah kita saat ini?
Maka ikhwah, sampai batas ini jelaslah bahwa tujuan inovasi dalam
tubuh lembaga dakwah kita adalah untuk mencari pola syiar islam yang
lebih tepat dan efektif, yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan objek
dakwah aktual kita. Sekali lagi saya hendak menekankan, inovasi yang
kita lakukan menjadi mutlak diperlukan, jika kita melihat terdapat
perbedaan kondisi dan situasi pada objek dakwah kita.
Bagaimana melakukan inovasi?
Pertama, bangun mindset yang benar tentang inovasi
Beberapa hal yang perlu diingat dalam melakukan inovasi adalah:
- Inovasi tidak mengubah tujuan atau capaian organisasi, ia mencoba mencari cara terbaik agar tujuan dan capaian itu dapat terwujud
- Inovasi tidak selalu merupakan hal yang ‘baru’, ia bisa berupa hal yang ‘lama’ yang dimunculkan kembali, dikarenakan tepat dengan kondisi yang ada saat ini
- Inovasi tidak ‘asal baru’, karena inovasi mencoba menjawab kebutuhan dan atau masalah, bukan untuk menyalurkan hasrat atau keinginan sang pembuat inovasi untuk menghilangkan rasa ‘penasaran’nya terhadap idenya sendiri.
Beberapa hal yang perlu diingat dalam melakukan inovasi adalah:
- Inovasi tidak mengubah tujuan atau capaian organisasi, ia mencoba mencari cara terbaik agar tujuan dan capaian itu dapat terwujud
- Inovasi tidak selalu merupakan hal yang ‘baru’, ia bisa berupa hal yang ‘lama’ yang dimunculkan kembali, dikarenakan tepat dengan kondisi yang ada saat ini
- Inovasi tidak ‘asal baru’, karena inovasi mencoba menjawab kebutuhan dan atau masalah, bukan untuk menyalurkan hasrat atau keinginan sang pembuat inovasi untuk menghilangkan rasa ‘penasaran’nya terhadap idenya sendiri.
Misalnya pada kebijakan menerapkan ‘biaya komitmen’ pada pendaftaran
GAMAIS, itu pun didasarkan pada kenyataan bahwa mahasiswa saat ini lebih
‘menghargai’ kegiatan-kegiatan yang tidak ‘murahan’. Mungkin pada saat
tertentu kita menganggap bahwa penarikan biaya adalah suatu yang tidak
baik, namun pada saat ini, dengan kondisi ekonomi mahasiswa yang semakin
baik dan mindset terhadap acara ‘elegan’ lebih menjual, pola seperti
ini menjadi relatif lebih baik untuk diberlakukan.
Untuk mampu berinovasi, kita harus mampu menghilangkan kelembaman
kita. Kita harus memiliki sikap dinamis dalam merespon kondisi, dan
selalu siap untuk melakukan perubahan (ke arah yang lebih baik). Kita
juga harus bersikap open minded, peka terhadap kondisi dan permasalahan
yang ada di sekitar kita. Selalu lakukan observasi serta Research &
Development, karena ide inovasi dapat berasal dari kebutuhan dan atau
masalah yang ada di sekitar kita.
Misalnya saja, kita melihat image LDK kita yang terkesan eksklusif,
kaku, dan kolot di massa kampus. Hal pertama yang perlu kita lakukan
adalah MENERIMA ITU. Jika memang benar mayoritas seperti itu, kita harus
bersikap fair dan open minded, jangan kemudian berdalih atau mengelak
dengan menyalahkan ‘mereka yang tidak tahu kondisi kita sebenarnya’.
Berikutnya kita harus membangun sikap mau berubah. Tidak akan ada dampak positif yang bisa kita buat jika kita tidak melakukan usaha-usaha perbaikan. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan usaha-usaha untuk mensolusikan hal tersebut.
Berikutnya kita harus membangun sikap mau berubah. Tidak akan ada dampak positif yang bisa kita buat jika kita tidak melakukan usaha-usaha perbaikan. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan usaha-usaha untuk mensolusikan hal tersebut.
Misalnya, usaha GAMAIS untuk menghilangkan kesan eksklusif, kolot,
dan kaku adalah mencoba menggunakan pendekatan branding yang lucu dengan
desain-desain yang menarik dalam media dakwahnya. Sadarilah bahwa
setiap orang memiliki perbedaan dalam “titik sentuh”-nya. Dan jangan
pernah menyepelekan hal-hal kecil di sekitar kita. Jika hal ini
dilakukan secara kontinyu dan konsisten, lama kelamaan kesan-kesan buruk
di atas akan hilang.
Contoh lain, jika kita perhatikan misalnya produsen laptop. Konsumen
saat ini benar-benar memiliki kecenderungan dan minat terhadap detail
bentuk laptop, baik dari segi spesifikasi, warna, harga, desain, dan
lain sebagainya. Coba kita bayangkan jika perusahaan laptop tersebut
malah menyalahkan konsumen yang ‘banyak maunya’, tentu saja ia tidak
dapat memberikan manfaat untuk dirinya dan konsumennya. Namun jika ia
mampu merespon keinginan itu dengan sebaik-baiknya, tentu saja ia dan
konsumen akan diuntungkan dengan inovasi-inovasi kreatif yang dilakukan
produsen laptop itu.
Kedua, hapus doktrin-doktrin yang salah tentang inovasi
Beberapa hal penting terkait doktrin yang salah tentang inovasi adalah, sebenarnya:
- Inovasi tidak memerlukan terjadinya revolusi dalam organisasi
- Inovasi tidak hanya berkutat seputar bagaimana menjadi kreatif, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mampu menerapkan ide-ide kreatif itu
- Inovasi tidak selalu membutuhkan keunggulan dalam teknologi
- Inovasi tidak selalu diperlukan secara besar-besaran oleh setiap organisasi
Beberapa hal penting terkait doktrin yang salah tentang inovasi adalah, sebenarnya:
- Inovasi tidak memerlukan terjadinya revolusi dalam organisasi
- Inovasi tidak hanya berkutat seputar bagaimana menjadi kreatif, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mampu menerapkan ide-ide kreatif itu
- Inovasi tidak selalu membutuhkan keunggulan dalam teknologi
- Inovasi tidak selalu diperlukan secara besar-besaran oleh setiap organisasi
Ketiga, lakukan langkah-langkah untuk membangun inovasi dan berpikir kreatif dalam organisasi
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membangun inovasi adalah dengan rumus ATM (amati, tiru, modifikasi). Cara ini merupakan cara yang mudah dan cukup efektif untuk melahirkan ide-ide inovatif dan kreatif.
Misalnya untuk tahun ini, GAMAIS ITB hendak mengadakan salah satu acara besar syiar yang bertujuan untuk ‘merangkul’ dan ‘mengolaborasikan’ seluruh elemen himpunan dan unit yang ada di ITB. Dalam menggapai tujuan itu, kami terinspirasi oleh acara yang diadakan oleh suatu partai politik, yang bertemakan “100 pemimpin muda Indonesia”, dimana pada acara itu mereka merangkul seluruh tokoh-tokoh muda yang berpengaruh di Indonesia, baik dari kalangan akademisi, praktisi, politisi, pengusaha, satrawan, seniman, pekerja social, dan lain sebagainya.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membangun inovasi adalah dengan rumus ATM (amati, tiru, modifikasi). Cara ini merupakan cara yang mudah dan cukup efektif untuk melahirkan ide-ide inovatif dan kreatif.
Misalnya untuk tahun ini, GAMAIS ITB hendak mengadakan salah satu acara besar syiar yang bertujuan untuk ‘merangkul’ dan ‘mengolaborasikan’ seluruh elemen himpunan dan unit yang ada di ITB. Dalam menggapai tujuan itu, kami terinspirasi oleh acara yang diadakan oleh suatu partai politik, yang bertemakan “100 pemimpin muda Indonesia”, dimana pada acara itu mereka merangkul seluruh tokoh-tokoh muda yang berpengaruh di Indonesia, baik dari kalangan akademisi, praktisi, politisi, pengusaha, satrawan, seniman, pekerja social, dan lain sebagainya.
Konsep acara itu kami adopsi untuk kami modifikasi dan terapkan di
kampus ITB. Maka jadilah konsep acara syiar yang memanfaatkan momentum
hari pendidikan nasional, untuk memilih 100 mahasiswa-mahasiswi muslim
teladan di ITB, yang berprestasi baik dari segi kurikuler maupun
non-kurikuler. Harapannya, semua elemen dapat merasa diikutsertakan
dalam acara ini, sehingga syiar islam yang kami sampaikan dapat diterima
dengan baik dan menyeluruh.
Hal tersebut merupakan salah satu cara yang mudah untuk menumbuhkan
inovasi, berangkat dari analisis kondisi, dipertemukan dengan berbagai
referensi, lakukan beberapa modifikasi, dan akhirnya menghasilkan
inovasi yang tepat dan efektif.
Keempat, bangun budaya dan iklim inovasi dalam tubuh organisasi
Satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah, peran pemimpin lembaga dakwah dalam menunjang sisi inovasi adalah sangat penting. Tidak dipungkiri, bahwa ide-ide yang sifatnya ‘baru’ dan atau ‘aneh/ unik’ seringkali tidak mudah diterima dalam sebuah organisasi. hal ini sangat berbahaya dalam pencapaian inovasi tadi. Ia dapat mematikan kreativitas sebelum sempat ia mengembangkan sayapnya. Peran pemimpin menjadi sangat penting untuk membaca kondisi ini dan mampu memberikan kepercayaan dan ruang bagi terciptanya inovasi-inovasi tersebut.
Satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah, peran pemimpin lembaga dakwah dalam menunjang sisi inovasi adalah sangat penting. Tidak dipungkiri, bahwa ide-ide yang sifatnya ‘baru’ dan atau ‘aneh/ unik’ seringkali tidak mudah diterima dalam sebuah organisasi. hal ini sangat berbahaya dalam pencapaian inovasi tadi. Ia dapat mematikan kreativitas sebelum sempat ia mengembangkan sayapnya. Peran pemimpin menjadi sangat penting untuk membaca kondisi ini dan mampu memberikan kepercayaan dan ruang bagi terciptanya inovasi-inovasi tersebut.
Hal penting lainnya adalah, inovasi bukanlah lagi inovasi jika tidak
bersifat kontinyu. Oleh karenanya, memastikan lembaga kita untuk mampu
mempertahankan budaya inovasi menjadi sangat penting, agar continuous
improvement (perkembangan yang berkelanjutan) dapat terlaksana dengan
baik.
Saya ingin menceritakan tentang salah satu program syiar yang ada di
GAMAIS ITB sejak sekitar 4 tahun yang lalu, yaitu KIT (Kajian Islam
Terpusat). KIT merupakan inovasi baru pada zamannya, dimana GAMAIS
mengadakan suatu talim akbar dengan mengundang pembicara level nasional.
Saat itu, acara ini menjadi salah satu acara syiar besar yang dapat
menarik minat cukup banyak massa kampus, misalnya saja pada saat
mendatangkan ustadz Anis Matta, pesertanya mencapai 700 peserta dan itu
merupakan jumlah yang sangat banyak.
Namun setelah berjalan 4 tahun berturut-turut, kami melihat tingkat
minat massa kampus terhadap acara ini menjadi menurun. Oleh karenanya,
pada tahun ini kami hendak mengubah beberapa hal terkait konten dan
pengemasan dari acara ini, agar dapat lebih ‘menarik’ massa kampus,
tentu saja untuk tujuan syiar islam yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa inovasi itu harus bersifat kontinyu, dan
setiap lembaga dakwah harus mampu mempertahankan kontinyuitas itu untuk
menjamin adanya perbaikan yang berkelanjutan. Begitulah, salah satu
peran LDK adalah sebagai laboratorium dakwah. Laboratorium ini berfungsi
untuk secara kontinyu mencari bentuk terbaik pola syiar dan dakwah kita
sesuai kondisi dan situasi yang ada saat ini.
Maka, beberapa langkah sederhana untuk memunculkan inovasi dalam lembaga dakwah kampus kita adalah:
1. Terbuka dengan kondisi sekitar, karena ide itu muncul dari masalah dan kebutuhan, dan ide itu dapat muncul kapan saja, dimana saja, dan melalui siapa saja. Dapat pula melakukan survey tentang bagaimana harapan massa kampus terhadap LDK kita, dan apa saja saran dan kritik dari mereka (tentu saja survey ini harus dilakukan dengan metoda acak/ random, jangan ditanyakan kepada kalangan kader sendiri saja)
2. Jangan takut melakukan perubahan, karena perubahan itu pasti, dan yang perlu kita lakukan adalah merekayasa perubahan yang ada agar kita dapat tetap optimal dalam pergerakan dakwah kita!
3. Banyak-banyak mengambil referensi, karena dapat menjadi inspirasi dalam memunculkan ide-ide kreatif yang dibutuhkan
4. Dalam membangun program kerja, usahakan bermula dari identifikasi kondisi dan bersikap kritis terhadap program kerja terdahulu (percayalah, kecenderungan manusia itu selalu berusaha dalam kondisi yang sama/ nyaman, dan perubahan itu memang seringkali tidak nyaman). Jadikan LPJ sebagai referensi tambahan, bukan sebagai referensi utama pembuatan program kerja.
5. Lakukan evaluasi dan inovasi secara kontinyu. Alangkah baiknya jika terdapat fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) yang memang bertugas untuk mengevaluasi efektivitas sebuah agenda dan memberikan usulan-usulan perbaikan sebagai bahan inovasi
1. Terbuka dengan kondisi sekitar, karena ide itu muncul dari masalah dan kebutuhan, dan ide itu dapat muncul kapan saja, dimana saja, dan melalui siapa saja. Dapat pula melakukan survey tentang bagaimana harapan massa kampus terhadap LDK kita, dan apa saja saran dan kritik dari mereka (tentu saja survey ini harus dilakukan dengan metoda acak/ random, jangan ditanyakan kepada kalangan kader sendiri saja)
2. Jangan takut melakukan perubahan, karena perubahan itu pasti, dan yang perlu kita lakukan adalah merekayasa perubahan yang ada agar kita dapat tetap optimal dalam pergerakan dakwah kita!
3. Banyak-banyak mengambil referensi, karena dapat menjadi inspirasi dalam memunculkan ide-ide kreatif yang dibutuhkan
4. Dalam membangun program kerja, usahakan bermula dari identifikasi kondisi dan bersikap kritis terhadap program kerja terdahulu (percayalah, kecenderungan manusia itu selalu berusaha dalam kondisi yang sama/ nyaman, dan perubahan itu memang seringkali tidak nyaman). Jadikan LPJ sebagai referensi tambahan, bukan sebagai referensi utama pembuatan program kerja.
5. Lakukan evaluasi dan inovasi secara kontinyu. Alangkah baiknya jika terdapat fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) yang memang bertugas untuk mengevaluasi efektivitas sebuah agenda dan memberikan usulan-usulan perbaikan sebagai bahan inovasi
Semoga dengan usaha kita untuk lebih mengerti dan mengakomodasi
kebutuhan objek dakwah, lembaga dakwah di kampus kita dapat lebih
diterima dan dekat dengan hati para mad’u dan objek dakwah kita.
Sehingga terciptalah basis kader dakwah dan simpatisan dakwah yang lebih
luas lagi, dan kondisi islami di kampus semakin terasa, hingga agama
Allah akan tegak di kampus kita. Allahu akbar!!!
Wallahualam
Komentar :
Posting Komentar